Friday, June 4, 2010

Remaja Pemberontak

Penulis : Lenny Wongso

Suatu hari, seorang teman datang kepada saya, diacurhat mengenai putrinya yang masih remaja, yang sekarang cenderung menjadi pemberontak. Sambil menangis, dia bercerita, berbagai macam ulah si putri, hingga yang terakhir (masih gres), aksi putri membolos dari sekolah selama 3 hari. Untuk itu, putri menerima hukuman dari pihak sekolah dan orangtuanya dipanggil ke sekolah.Sepeninggal ibunya dari sekolah, putri mendatangi guru yang bertemu dengan ibunya untuk menanyakan, apa komentar ibunya setelah mendengar ulah dia? Dan hingga seminggu setelah peristiwa itu, putri tidak mau berbicara sepatah katapun tentang alasannya membolos atau mengakui kesalahan, apalagi meminta maaf, sikapnya bak tanpa dosa. Si ibu memendam amarah, menunda-nunda berbicara karena kuatir meledak dan pertengkaran

Dari hasil ngobrol,ternyata pemberontakan ini bukan yang pertama. Berbagai alasan mendasari kenakalan si putri, yang bermuara pada rasa marah karena perlakuan tidak adil oleh ibunya. Yang merasa lebih menyayangi adik dan banyak ketidakpuasan yang disimpan dari hari ke bulan menuju hitungan tahun dan berakhir menjadi bibit kebencian dan dendam yang berkepanjangan. Si ibu merasa ulah pemberontak putrinya karena sifat bawaan ayahnya yang juga tidak disukainya. Kekesalan yang bertumpuk yang tidak disertai dengan komunikasi yang bijak diantara mereka, membuahkan masalah-masalah baru yang menyedihkan.

KEWAJIBAN KITA UNTUK MENCINTAI ANAK-ANAK
DENGAN PORSI YANG SAMA
Dari cerita diatas, sebuah kesadaran timbul di benak saya.
Memang idealnya sebagai orang tua, memiliki seberapa banyak anak pun, semua wajib kita cintai dengan porsi sama besar. Tetapi kenyataannya, bila kita mau jujur (sejujur-jujurnya), banyak ortu, memberikan porsi cinta kepada setiap anak dalam ukuran yang berbeda. Tetapi, selama perbedaan kasih sayang itu tidak pernah muncul di permukaan dalam keseharian, maka tidak akan ada masalah "rasa tersingkir/kurang disayang/dianak tirikan oleh orang tua". Sayangnya, orang tua (juga manusia) melakukan kesalahan dengan membedakan perlakuan di antara anak-anak mereka sendiri, sehingga dari sanalah munculnya reaksi anak berupa "perasaan tersingkir" dan akhirnya bisa meciptakan kondisi "memberontak" dsb, dst.
Memang tidak mudah untuk merubah persepsi "kurang disayang, bukan anak kebanggaan/kesayangan, selalu dibandingkan" yang telah terbentuk dalam hati dan persepsi seorang anak. Tetapi kita sebagai orang tua, rasanya wajib memperbaiki kerusakan yang telah kita perbuat sendiri, secara sengaja maupun tidak. Yakni dengan cara berkomunikasi dan perlakuan yang seimbang diantara masing2 anak, setiap hari, terus menerus dan konsisten. Karena benih kebaikan dan kasih sayang seharusnya dimulai dari dan oleh orang-orang disekeliling kita sendiri, terutama keluarga dan tentunya dimulai dari diri kita sendiri.

Salam sukses luar biasa!

No comments:

Post a Comment