Friday, June 4, 2010

Era Keterbukaan Orang Tua Dengan Anak

Penulis : Lenny Wongso

Suatu sore, kami mendapat telepon dari saudara di Surabaya, yang mengabarkan berita duka bahwa putri tunggalnya meninggal dunia karena bunuh diri. Kami sekeluarga lebih kepada shock daripada perasaan duka yang mendalam karena di usia yang masih muda, bagaimana bisa menghabisi nyawanya dengan cara menegak cairan pembunuh serangga. Menurut si papa, anaknya mengalami stres karena tidak bisa menerima kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan. Setelah pertama kali percobaan bunuh diri yang pernah dilakukannya gagal, kali kedua dia sukses melaksanakan niatnya.

Kira-kira dua minggu setelah berita di atas, kembali kami dikejutkan dengan meninggalnya teman pria se-SD anak kami yang masih berusia 18 tahun. Ketika ditelusuri penyebabnya, karena kanker! Aduh mak. Kembali shock itu datang menghimpit dada.

Saat penggalan cerita dikisahkan oleh seorang sahabat ke saya, dari sejak sakit hingga meninggalnya si anak, riak air mata pun segera berlomba berjatuhan. Tak terbayang bagaimana perasaan orangtuanya ditinggalkan untuk selamanya oleh putra tunggalnya. Sebenarnya ada peristiwa apa di balik semua kejadian tadi?

Menurut cerita, hal tersebut berawal dari sebuah kecelakaan kecil, sewaktu si anak terjatuh saat mengendarai sepeda motor. Motornya tidak mengalami cidera yang berarti. Demikian pula tampak fisik luar, si anak juga tidak menampakkan cidera yang berarti. Ternyata, yang terluka justru di tempat yang tidak tampak dari luar, tetapi akibat benturan di tempat yang vital, yakni di testis.

Mungkin karena malu untuk membicarakan kepada siapapun, segala nyeri dan sakit berusaha sekuat tenaga ditahan sendiri oleh anak itu. Akibatnya, bibit kanker yang bersumber dari testis mulai menggerogoti, tidak dapat terdeteksi dari awal. Dan saat kondisi si anak semakin memburuk, mendadak vonis diagnosa team dokter sangat mengejutkan, kanker stadium 4 atau terakhir! Jelas, semua orang, terutama orangtuanya shock berat. Dan, semua penderitaan itu berakhir dengan kepergian si anak kembali ke sisi Tuhan di usia yang sangat belia.

Netter yang berbahagia,

Anak adalah tanggung jawab orangtua selama dia berada di bawah naungan kita dan semasa masih di bawah umur. Belajar dari kasus di atas, perlu kiranya kita jujur bertanya kepada diri sendiri, seberapakah kedekatan kita kepada anak-anak kita? Seberapakah kejujuran mereka untuk berterus terang bila ada hal-hal yang ‘seharusnya' dibicarakan kepada kita? Ataukah kita sebagai orangtua yang tidak berusaha mendengar saat mereka hendak berbicara, karena alasan klasik, tidak ada waktu? Atau bahkan mungkin kita tidak pernah tahu apakah minat anak kita, warna kesukaannya, teman sepermainannya, ukuran bajunya?

Keterbukaan di antara anak dengan orangtua sebenarnya jembatan mengatasi berbagai masalah remaja pada umumnya, masalah apa saja. Untuk itu, marilah kita membiasakan diri berkomunikasi dua arah. Kita berikan perhatian dan tingkatkan komunikasi yang terjalin, tidak hanya pada orang lain, tetapi terlebih-lebih pada anak kita sendiri yang sedang bertumbuh. Semoga, kita tidak akan terlambat dan jangan sampai pula penyesalan hadir berhimpit di belakang.

No comments:

Post a Comment