Saturday, June 5, 2010

Rumput Tetangga Tidak Selalu Lebih Hijau

Selalu terlihat mesra dan tampak sebagai keluarga bahagia. Siapa yang tidak iri kalau punya tetangga seperti itu?

Saya yakin, perasaan ini sering kali dirasakan oleh para istri. Bukan berarti para pria tidak pernah mengalaminya, namun saya akui, kaum Adam memiliki kelebihan dalam hal menyembunyikan emosinya. Jadi, hanya diri mereka saja yang tahu apa yang mereka rasakan. Nah, justru wanitalah yang terkenal dengan kemampuan mereka meluapkan perasaan, yang bisa dibilang menjadi kebutuhan utamanya, yaitu ingin didengarkan.

Saya pun termasuk wanita yang normal, jadi kegemaran mengungkapkan isi hati adalah juga kebiasaan saya. Termasuk mengungkapkan "kekaguman" saya terhadap kehidupan tetangga. Tentu, suami adalah objek pendengar yang setia dalam hal ini. Ya memang, suami adalah pendengar setia, karena apa yang saya ungkapkan sebenarnya merupakan keluhan terselubung untuknya, yang kalau diartikan secara langsung, adalah ungkapan seperti "Kenapa kita tidak bisa mesra seperti mereka?", "Kenapa mobil kita tidak ganti seperti punya mereka?", "Kenapa kamu tidak bisa mengajak saya dan anak-anak liburan ke luar negeri seperti mereka?", dan pertanyaan lain yang di ujungnya selalu terselip kata-kata "seperti mereka".

Tenang saja, bagi para istri atau wanita yang merasa memiliki kebiasaan yang sama dengan saya, cerita di atas hanyalah contoh kasus yang kerap terjadi dalam kehidupan berumah tangga. Sebenarnya, di mana pun juga, di situasi apa pun juga, semua orang pasti pernah mengalaminya. Entah itu iri dengan kenaikan karier seorang rekan kerja yang begitu cepat, iri melihat pendapatan sahabat yang jauh lebih tinggi, atau iri pada kehidupan saudara sendiri yang terlihat lebih mudah diarungi.

Begitu juga dalam kehidupan berumah tangga. Coba tanyakan kepada diri Anda, pernahkah Anda merasakan kekurangan pasangan seiring bertambahnya usia pernikahan? Banyak orang bilang, awal pernikahan terasa bagaikan masa bulan madu tanpa henti, tapi lama-kelamaan rasa bosan mulai datang. Bila saat itu telah tiba, kita mulai melihat satu per satu kekurangan dari pasangan timbul di permukaan.

Padahal, semuanya itu berawal dari rasa kagum yang berujung pada kecemburuan. Kalau kita mau berkaca pada diri orang lain, menikmati apa yang sudah kita dapatkan, tentunya kehidupan kita bersama pasangan adalah sesuatu yang indah dan patut disyukuri. Belum tentu orang lain yang kita kenal memiliki pasangan yang 100% mencintai kita dengan tulus, menjaga kita saat sakit, menghibur kita saat bersedih, dan mendampingi kita dalam suka maupun duka. Kita tidak boleh hanya menilai sesuatu hal dari tampak luarnya saja.

Terkadang, sifat manusia yang tidak mau kalah, membuatnya berpikir bahwa penderitaan yang dialaminya lebih berat daripada penderitaan orang lain. Maka, kita cenderung melihat kehidupan orang lain jauh lebih indah dan mudah, daripada kehidupan yang kita jalani. Itu tidak benar!

Pernahkah Anda berpikir, di balik kemesraan yang terlihat dan kekayaan yang tampak, ada permasalahan yang juga sedang melanda mereka yang memiliki. Bisa saja, untuk dapat memiliki rumah mewah dan mobil bagus, pasangan itu harus bekerja sedemikian keras, sehingga sering kali anak-anak yang menjadi korban, dan tumbuh menjadi anak yang kurang perhatian dari orangtuanya. Atau, kemesraan yang mereka tunjukkan adalah palsu. Tidak ada yang tahu jawaban pastinya, kecuali Anda mau menyelidiki dengan cermat, yang adalah perbuatan yang tidak terpuji.

Buat apa mencampuri urusan orang lain, termasuk mencemburui kehidupan orang lain. Masih banyak yang jauh lebih penting untuk diurusi, yaitu kehidupan rumah tangga kita sendiri. Dari pada hanya mengeluh kurang ini-kurang itu, lebih baik kita mensyukuri kehidupan yang telah kita miliki ini. Bahkan, kalau perlu, tingkatkan kualitas kehidupan rumah tangga kita dengan memupuk rasa saling menyayangi, pengertian, dan kepercayaan. Pasangan tentu jauh lebih bahagia melihat orang yang dicintainya selalu mendukung dirinya 100% tanpa mengeluh. Niscaya, rumput kita sama hijaunyua dengan rumput tetangga, atau bahkan lebih indah!

Rumah Tangga Berantem?

Itu sih biasa. Dari cekcok besar, ribut mulutsampai diem-dieman, bagai lagu lama dengan aransemen baru, diulang dan terjadi di setiap rumah tangga. Kata pendahulu kita, itu bumbu kehidupan. Kalau keterusan….?

Suatu hari, si kecil yang rewel seharian langsung nempel digendongan si ibu yang baru pulang dari kantor. Saat makan bersama pun si kecil tetap mau dipangkuan ibunya. Duh, capek dan jengkel rasanya. Selesai makan, si suami bersiap mau pergi lagi, rupanya dia ada janji kontrol ke dokter gigi dan seperti biasa, minta ditemani si istri karena si suami memang "trauma" dengan suara mesin alat bor gigi sehingga perlu si istri menemaninya. Saat si istri berusaha menolak permintaan suami, segera terjadi tarik urat leher,masing-masing mempertahankan kepentingannya.

Ibu putri yang sedang ada di situ menengahi,"Nak, ganti baju dan pergilah temani suamimu". Sambil bersungut-sungut akhirnya mereka berdua berangkat ke dokter gigi.
Esok hari, bunda memanggil dan memberi nasehat, "Putri, bunda harap kalian jangan berantem di depan bunda. Jika itu terjadi, putri harus tau prinsip bunda yakni bunda tidak akan membela putri di depan suamimu walaupun mungkin putri di pihak yang benar. Jangan meminta bunda menjadi pembelamu dikehidupan rumah tangga kalian, mengerti ya?".

Beberapa hari kemudian, bunda terlihat sibuk di dapur, dengan tangannya yang telah menua dan berkerut, dia membuat makanan yang disukai si menantu dan menyuguhkannya sendiri kehadapan menantunya. "Nak, ibu buatkan makanan kesukaanmu. Makanlah mumpung masih panas". Kemudian ditunggui si menantu menyantap makanan sambil berbincang ringan. Di sela getar suara tuanya, bunda menyampaikan pesan, "Nak, ibu titip anak ibu ya, tolong anak yang sabar. Putri masih muda, pasti banyak berbuat salah, tolong ajari dia. Ibu percaya, kalian adalah jodoh yang dipasangkan oleh Yang Maha Kuasa, maka kalian harus saling menjaga rumah tangga kalian dengan baik". Dengan tangan masih memegang sendok, tiba-tiba terdengar isak lirih si menantu, "Maafkan saya bu, saya mungkin kurang sabar selama ini. Saya berjanji akan belajar untuk bersikap lebih baik dan lebih mencintai keluarga saya. Ibu jangan kuatir. Saya pasti bisa, mohon doa restu dari ibu".

Netter yang berbahagia,
Sebagai pelaku rumah tangga, kemelut apapun yang terjadi adalah tanggung jawab kita sendiri. Kita lah yang harus belajar untuk menyelesaikannya. Masalah pasti ada, gesekan pasti timbul, resepnya : masalah gede dikecilin, masalah kecil disingkirin, bukan sebaliknya, masalah kecil digedein, masalah gede diledakin.

Mengingat bundaku selalu ada rasa syukur menyertai. Sedikit kata-kata yangbeliau punya tetapi mengandung makna tak terkira, membekali saya agar belajar bersabar dan lebih bijak dalam bersikap. Terimakasih bunda.


Salam Sukses Luar Biasa!
Lenny Wongso
Penulis : Lenny Wongso

Pertengkaran Itu Selalu Ada

Kehidupan perkawinan yang adem ayem selamanya bisa jadi hanya mimpi belaka. Karena, seharmonis apa pun hubungan suami-istri, pasti ada kerikil-kerikil kecil yang menghalangi. Tapi, itulah bumbu kehidupan yang harus dinikmati!

"Apa yang salah dengan kehidupan perkawinanku?" Mungkin, pertanyaan itu kerap terlintas di benak Anda sesaat setelah terjadi pertengkaran dengan pasangan. Apalagi jika selisih paham yang terjadi cukup besar sehingga membuat Anda harus "perang dingin" dengannya selama beberapa hari. Rasanya, semua beban dunia ada pundak Anda, memang berlebihan...tapi memang begitulah rasanya.

Saya rasa, tidak ada perkawinan yang bahagia sepanjang masa, dari menikah sampai maut memisahkan. Walaupun, saya tidak memungkiri, kalau kita semua berharap seperti itu saat mengucapkan janji setia sehidup semati. Namun, kita tetap harus bersiap, karena batu sandungan pasti ada dalam sebuah rumahtangga.

Apa sih yang biasanya menjadi topik pertengkaran antara pasangan? Cinta, anak, atau uang? Semuanya! Dalam setiap rumahtangga, subjek apa pun bisa menyulut perselisihan. Jujur saja, dalam kehidupan saya, yang menjadi satu-satunya sumber permasalahan adalah uang. Setiap kali pembicaraan santai di pagi, sore, atau malam hari menyinggung sedikit saja tentang uang, otot saya dan pasangan mulai menegang. Jadinya, kami berdua sering mengindahkan hal itu demi keharmonisan hubungan.

Apa pun yang menjadi topik sensitif yang "tabu" diobrolkan bersama pasangan, dengan alasan menghindari suasana yang tidak kondusif, kita tidak akan bisa menyingkirkannya selamanya. Mood yang tidak bagus, tekanan dalam pekerjaan, atau masalah lainnya, bisa menjadi pemicu pertengkaran. Salah omong sedikit saja mampu menyinggung harga diri kita.
Cara terbaik menyikapi setiap pertengkaran adalah dengan menghadapinya. Jangan menghindar! Menghindar bukanlah solusi, melainkan sebuah penundaan. Jangan takut untuk bertengkar, karena itu hal yang wajar. Justru, perkawinan akan terasa hambar tanpa adanya beda pendapat, salah paham, dan perbedaan prinsip yang menjadi bumbu keharmonisan.
Justru jadikanlah momen itu untuk ajang saling mengenal lebih dalam lagi. Jangan bersedih, karena setiap kali sebuah pertengkaran berakhir dengan damai, kita menaiki satu level baru dalam sebuah kehidupan rumahtangga. Tapi juga jangan menutup diri dari kenyataan. Karena pertengkaran yang terus-menerus terjadi, lebih lagi tanpa adanya sebab yang jelas, bisa menjadi tanda bahwa hubungan sedang tidak sehat. Lakukan cara apa pun untuk memperbaikinya. Tapi, jika menemui jalan buntu, ingatlah bahwa kita pantas dan berhak mendapatkan hidup yang berkualitas sebagai seorang individu.

Bukalah mata lebar-lebar! Di satu sisi kita harus tetap berpikir positif, di sisi lain kita juga jangan mengharapkan sesuatu bagaikan punuk merindukan bulan, mengangankan kehidupan rumahtangga yang happily ever after, layaknya dongeng Cinderella, Sleeping Beauty, atau Snow White. Pertengkaran itu akan selalu ada dan dialami setiap pasangan suami-istri, namun dengan selalu berpikir positif, pertengkaran itu bisa dijadikan motivasi untuk mewujudkan kehidupan perkawinan yang lebih baik lagi.


Penulis : Anastasia Ratih P Tyas

Nilai Usia

Di suatu pagi hari, saat turun dari lantai atas, tiba-tiba mata saya melihat serangkai mawar merah tergeletak di atas meja. Ehm, 14 Februari, Valentine Day. Siapa gerangan pemilik bunga mawar itu? Saya pun dengan serta merta menghampiri pembantu untuk bertanya. "Mbak, bunga siapa tuh?" "Punya Valdy Bu. Dari kemarin sudah nitip uang dan pesan minta dibeliin bunga mawar", jawab si pembantu. "Mau dikasih ke siapa bunganya?" tanya saya penasaran. "Nggak tau mau dikasih siapa. Harganya pas mahal lagi bu, kan hari ini valentine. Satu tangkai aja Rp......, Valdy minta dibeliin 8 tangkai." Urusan tanya jawab pun tidak berlanjut karena yang bersangkutan sudah pergi ke sekolah.

Siang hari, tiba-tiba telepon berbunyi dari Valdy, "Ma, aku minta ijin nggak pulang rumah ya, mau pergi ke rumah duka di....", "Siapa yang meninggal Val?" Tanya saya. "Papanya si anu, kasihan lho ma, umurnya baru 41 tahun," jawab Valdy. Setelah memberi ijin dan berpesan untuk hati-hati di jalan dan memberi kabar lebih lanjut, kami pun bertemu lagi saat malam hari.

Valdy bercerita tentang kesedihannya melihat teman dan keluarganya menangis dan berduka. Usaha teman-teman untuk menghibur pun sia-sia.

Tiba-tiba saya teringat bunga mawar tadi pagi dan dengan bercanda menanyakan kepada Valdy, "Val, minta mbak beli bunga mawar mau kasih siapa sih, mama boleh tahu nggak?" "Buat si anu ma, kan kasihan papanya meninggal," jawab Valdy dengan polos. "Pake uang tabunganku sendiri lho ma. Boleh ditukerin nggak ma? Biar besok aku bisa jajan kalau laper hehehe."

Menjelang tidur, ada perasaan lega, senang dan sedikit malu mengiringi. Prasangka bahwa anakku yang "masih" 12 tahun sudah berpikir mau "nembak" temen ceweknya ternyata salah. Keinginannya menghibur teman yang sedang berduka (walaupun harus menguras dompet) memberi gambaran bahwa anakku memiliki sensitivitas pada penderitaan orang lain, sungguh membanggakan dan luar biasa!

Tak dipungkiri, meninggal di usia yang relatif muda, mencerminkan bahwa usia manusia tidak dapat diprediksi. Entah seberapa pun panjang umur yang dapat kita nikmati, yang utama adalah seberapa bekal kita untuk pindah alam mempertanggungjawabkan semua tindakan kita di hadapan sang khalik?

Suatu pagi, datang ke rumah saya, ibu guru les mandarin anak-anak yang usianya sudah di atas 70 tahun tetapi masih tampak enerjik. Dia bercerita diminta memberikan testimoni oleh dokter jantungnya di Metro TV untuk berbagi kepada pemirsa dan sesama penderita (dia divonis dokter 30% jantungnya tidak lagi berfungsi dengan baik). Ibu guru tersebut menanyakan bagaimana tata cara muncul di TV karena dia tahu beberapa hari sebelumnya kami sekeluarga rekaman untuk acara Kick Andy di Metro TV. Walaupun tampak ada ketegangan karena hendak berbicara di stasiun TV, tetapi dia puas telah berjumpa dan mendengarkan pesan yang saya sampaikan kepadanya.

Netter yang berbahagia,

Ibu guru yang telah berusia lanjut, dengan penuh semangat, setiap hari memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya demi mengajar ilmu kepada anak didiknya. Walaupun saat ini, tenaga yang dipunyai sangatlah terbatas karena kondisi kesehatannya, tetapi dia tidak pernah berhenti dan menyerah! Maka untuk acara di TV, saya memberi masukan agar menularkan semangat hidup yang dipunyainya kepada para pemirsa yang menonton acara tersebut. Kondisi tubuh bisa melemah, penyakitpun bisa mendera, tetapi bukanlah alasan untuk patah semangat dalam mengisi sisa hidup yang kita punyai dengan hal-hal yang positif dan bermanfaat.

Kita bisa berkaca dan belajar dari sikap dan semangat sang ibu guru.

Tentu kita patut bersyukur, dengan apa yang kita miliki saaat ini, kesehatan dan usia muda. Teman-teman dan keluarga, sepantasnya kita jaga dengan baik melalui memelihara pikiran positif dan meluangkan waktu untuk berolah raga.

Salam sukses luar biasa!


Penulis : Lenny Wongso

Mendidik Anak

Penulis : Lenny Wongso

Pepatah menyatakan “Anak adalah titipan dari yang kuasa” seperti juga pujangga besar Khalil Gibran, dalam sebuah puisinya yang sangat popular menyebutkan”…. Mereka adalah putra putri kehidupan. Dari kita mereka ada…tetapi mereka bukanlah milik kita…..dst .

Sesungguhnya, setiap manusia (anak atau dewasa), memiliki hak-hak yang melekat sejak dia menghirup oksigen di muka bumi ini. ”. Ironisnya, banyak orang tua yang sering memperlakukan anak-anak mereka dengan semena-mena, otoriter, dengan anggapan, sampai kapanpun anakku adalah anak-anak, yang harus menuruti segala kehendak orang tua. Walaupun yang disebut anak itu mungkin saat ini telah memiliki anak-anak mereka sendiri.

Orang tua = hakim ??
Setiap anak memiliki karakter yang berbeda, maka mendidik anak adalah seni kehidupan yang sangat unik dan spesifik.
Setiap hari menyaksikan ulah anak-anak, dan begitu kenakalan terjadi, hati dan pikiran kita bereaksi, mau diapain anak ini?Cukup diberi pengertian? Atau diperingatkan keras? Atau harus dicubit? Atau …..?

Saat itulah kita siap memvonis bagai seorang hakim. Maka, emosi, kebijaksanaan dan wawasan berpikir sebagai orang tua sangat menentukan, apakah anak merasa diperlakukan secara wajar dan adil oleh orang tuanya terhadap ulah mereka.

Pada sebuah seminar, ada seorang peserta yang bertanya tentang bagaimana kami mendidik anak? Dengan cara baru atau lama? Nah lho, mendidik anak dengan cara baru? (setiap anak melakukan kesalahan, cukup diberi pengertian). Dan cara lama? Dengan pukulan atau kekerasan! Menurut saya, mendidik anak tidak ada cara baru atau lama. Karena kita yang paling tau karakter anak-anak kita, maka cara apapun, asal tidak ekstrim, tidak masalah.
Apakah dalam mendidik anak perlu dipukul? Atau tindakan fisik?

Bagi saya, bila memang diperlukan, bisa saja dilakukan pemukulan (bukan dalam taraf membahayakan). Sekali lagi, kita lah yang paling tau karakter anak sendiri, selama niatnya baik dan kemudian diberi pengertian benar, saya yakin, sebuah pendidikan tidak berbatas pada vonis pemukulan berarti tindak kekerasan dalam rumah tangga. Tetapi lebih dari itu, mendidik anak berarti menghantar mereka dalam pembentukan karakter dan kepribadian sebagai bekal menjadi diri mereka sendiri. Sehingga dikemudian hari, mereka mampu tampil sebagai pribadi yang baik, berguna bagi diri sendiri, orang lain dan lingkungannya.

Karena setiap anak memiliki karakter khas yang berbeda satu sama lain, maka temukan metode dan mendidik anak sesuai dengan karakter mereka masing-masing sehingga anak tidak hanya mampu memperbaiki diri dari sebuah kesalahan tetapi juga terdorong untuk senang secara terus-menerus mengembangkan sisi baiknya.

Penutup.
Keluarga adalah basis pendidikan yang paling utama, dan orang tua merupakan figure utama pendidik dalam keluarga. Keteladanan orang tua merupakan pola pendidikan yang paling ringkas, simple dan efektif. Kasih sayang dan komunikasi antar anggota keluarga ditambah dengan contoh nyata dari figure orang tua merupakan unsur penting dalam mendidik buah hati kita. Orang tua yang luar biasa adalah orang tua yang disegani, ditaati dan diteladani oleh anak-anaknya.


Selamat mengarungi samudra pendidikan anak.
Salam sukses luar biasa !!!!

Friday, June 4, 2010

Remaja Pemberontak

Penulis : Lenny Wongso

Suatu hari, seorang teman datang kepada saya, diacurhat mengenai putrinya yang masih remaja, yang sekarang cenderung menjadi pemberontak. Sambil menangis, dia bercerita, berbagai macam ulah si putri, hingga yang terakhir (masih gres), aksi putri membolos dari sekolah selama 3 hari. Untuk itu, putri menerima hukuman dari pihak sekolah dan orangtuanya dipanggil ke sekolah.Sepeninggal ibunya dari sekolah, putri mendatangi guru yang bertemu dengan ibunya untuk menanyakan, apa komentar ibunya setelah mendengar ulah dia? Dan hingga seminggu setelah peristiwa itu, putri tidak mau berbicara sepatah katapun tentang alasannya membolos atau mengakui kesalahan, apalagi meminta maaf, sikapnya bak tanpa dosa. Si ibu memendam amarah, menunda-nunda berbicara karena kuatir meledak dan pertengkaran

Dari hasil ngobrol,ternyata pemberontakan ini bukan yang pertama. Berbagai alasan mendasari kenakalan si putri, yang bermuara pada rasa marah karena perlakuan tidak adil oleh ibunya. Yang merasa lebih menyayangi adik dan banyak ketidakpuasan yang disimpan dari hari ke bulan menuju hitungan tahun dan berakhir menjadi bibit kebencian dan dendam yang berkepanjangan. Si ibu merasa ulah pemberontak putrinya karena sifat bawaan ayahnya yang juga tidak disukainya. Kekesalan yang bertumpuk yang tidak disertai dengan komunikasi yang bijak diantara mereka, membuahkan masalah-masalah baru yang menyedihkan.

KEWAJIBAN KITA UNTUK MENCINTAI ANAK-ANAK
DENGAN PORSI YANG SAMA
Dari cerita diatas, sebuah kesadaran timbul di benak saya.
Memang idealnya sebagai orang tua, memiliki seberapa banyak anak pun, semua wajib kita cintai dengan porsi sama besar. Tetapi kenyataannya, bila kita mau jujur (sejujur-jujurnya), banyak ortu, memberikan porsi cinta kepada setiap anak dalam ukuran yang berbeda. Tetapi, selama perbedaan kasih sayang itu tidak pernah muncul di permukaan dalam keseharian, maka tidak akan ada masalah "rasa tersingkir/kurang disayang/dianak tirikan oleh orang tua". Sayangnya, orang tua (juga manusia) melakukan kesalahan dengan membedakan perlakuan di antara anak-anak mereka sendiri, sehingga dari sanalah munculnya reaksi anak berupa "perasaan tersingkir" dan akhirnya bisa meciptakan kondisi "memberontak" dsb, dst.
Memang tidak mudah untuk merubah persepsi "kurang disayang, bukan anak kebanggaan/kesayangan, selalu dibandingkan" yang telah terbentuk dalam hati dan persepsi seorang anak. Tetapi kita sebagai orang tua, rasanya wajib memperbaiki kerusakan yang telah kita perbuat sendiri, secara sengaja maupun tidak. Yakni dengan cara berkomunikasi dan perlakuan yang seimbang diantara masing2 anak, setiap hari, terus menerus dan konsisten. Karena benih kebaikan dan kasih sayang seharusnya dimulai dari dan oleh orang-orang disekeliling kita sendiri, terutama keluarga dan tentunya dimulai dari diri kita sendiri.

Salam sukses luar biasa!

Anak Dan Warisan

Penulis : Lenny Wongso

Suatu hari, saat saya pulang ke kampung halaman. Terdengar kabar yang menyentakkan kalbu. Seorang teman lama, anak orang kaya, yang sewaktu dulu kami masih berteman sekolah adalah anak yang baik, pemalu dan tidak bermasalah. Tiba-tiba sekarang, setelah dewasa dan berkeluarga, suatu hari, dia bisa melakukan hal yang mencengangkan, yaitu menodongkan sebilah pisau kepada orangtuanya sendiri, sambil mengancam, "Ayah, tolong bagikan warisan sekarang saja. Aku butuh uang untuk membayar hutang judi". (gubrak!)

Sepenggal cerita tadi, membuat saya merenung dan berpikir tentang anak-anak saya. Bagaimana seandainya itu terjadi dengan salah satu dari anakku? Sungguh, saya tidak ingin berandai-andai hal yang semacam itu bisa terjadi pada salah seorang anakku!
Pertanyaannya adalah "Pendidikan seperti apa yang harus saya berikan untuk membekali mereka dengan pengertian benar tentang harta kekayaan dan hak waris?"

Suatu hari, saat kami seperti biasa berkumpul dan bertukar cerita, saya memulai dengan pertanyaan kepada mereka, "Anak-anak, jika ada orang atau teman yang bertanya kepada kamu, rumah kamu di mana, dan jawabnya adalah……?" Segera si bungsu menjawab tangkas, "Di sini lah ma. Rumah kita di jalan ……(sambil menyebut alamat lengkap rumah kami). Mama kok nanyanya aneh sih". "Pinter kamu. Benar. Rumah kita memang di sini. Selama kalian tinggal bersama dengan papa mama, ya di sinilah rumah kalian.

Tetapi ingat! rumah ini bukan punya kalian (ucap saya menekankan kata dan diam sejenak menatap mereka satu persatu).Ini adalah rumah papa dan mama, hasil kerja keras papa dan mama selama ini. Apakah kalian setuju? (mereka bersamaan menganggukan kepala). Jadi, nanti…. Rumah ini, atau barang apapun punya papa dan mama, mau diberikan kepada siapa atau mau diapain saja, terserah papa mama. Jelas ya. Papa mama telah menyiapkan dan menabung untuk biaya pendidikan kalian, maka tugas kalian adalah belajar dengan benar dan sekolahlah setinggi apapun yang kalian mampu. Dan di kemudian hari, bila kalian sudah selesai sekolah, terus bekerja dan nanti menghasilkan uang sendiri, nah….kalian bisa memiliki rumah kalian sendiri. Mau yang lebih besar, kamarnya di macem-macemin, atau mau diapain saja, terserah kemauan kalian sendiri, asyik kan?". Mereka pun mulai berceloteh tentang kamar idaman mereka, seperti yang di majalah atau kamar temannya si anu, dan sebagainya, dan seterusnya.

Malam hari menjelang tidur, terasa ada kelegaan di dada. Saya telah menyampaikan sebuah pelajaran kepada anak-anakku, menanamkan sebuah pengertian, bahwa yang telah diperoleh dari kerja papa mamanya adalah hak orang tuanya, bukan hak mereka. Mereka harus menghargai itu dan tidak berpikir untuk saling berebut warisan. Jika menginginkan sesuatu, maka harus rajin belajar, berupaya dan bekerja keras untuk mendapatkannya.
Menjelang tidur, doa kupanjatkan kepada Yang Kuasa, semoga anak-anakku kelak menjadi anak yang bertanggung jawab atas kehidupan mereka sendiri, tidak menjadi beban orang lain.